Friday, April 27, 2007

Sekilas tentang Wu Wei

Apakah yang dicari seorang manusia dalam mengarungi hidup ini? Kebahagiaan? Ketenaran? Kesuksesan? Kekayaan? Popularitas? atau semua hal tersebut? Ada sebuah cerita legenda di negri Cina yang akan mencoba menjawab pertanyaan di atas. Cerita tersebut mengenai seorang yang berusaha mengalahkan seorang Guru dalam suatu pertarungan adu pukulan. Seseorang pemuda yang pernah dikalahkan oleh seorang Guru berniat untuk balas dendam di kemudian hari pada suatu duel besar yang akan disaksikan bnayak orang. Demi pencapaiannya, ia belajar berbagai ilmu persilatan dari berbagai aliran demi tujuan yang diinginkannya tersebut. Ia sudah berkhayal dan bermimpi bahwa ia dapat mengalahkan Guru tersebut. Sang Guru juga telah mendengar usaha anak tersebut dari berbagai pihak, namun ia mencoba untuk tidak berlatih semakin keras untuk mengembangkan ilmunya. Ia hanya duduk berjam-jam atau melatih meditasi. Ia hanya berdoa semoga anak tersebut menemukan kebenaran yang sesungguhnya lewat usahanya melatih diri dengan seni bela diri. Akhirnya, tiba waktunya sang Guru ditantang. Sang pemuda menjadi lebih terlihat kuat dan berotot. Sang Guru tersenyum dan menerima tantangan tersebut. Ia mempersilahkannya memulai pertandingan. Sang Guru ternyata dipukul dengan sangat keras, lebih keras dari pukulan dalam pertarungan sebelumnya. Ia terlihat kesakitan, tetapi tidak mengaduh, diam dan hening. Tiba saatnya giliran sang Guru. Ia terlihat biasa saja dan maju dengan tenang untuk melawan. Pukulannya terlihat biasa dan lembut. Tak lama kemudian, anak tersebut jatuh dan tak dapat bangun kembali. Orang-orang yang menonton terlihat sangat heran karena pukulannya memang sangat lembut dan tak bertenaga, namun dapat melemahkan kekuatan anak tersebut. Akhirnya sang Guru-lah pemenangnya.

Dari kisah ini, makna yang didapat adalah berbalikan dari pertanyaan-pertanyaan di awal tadi. Manusia tidak-lah boleh mencari kekuatan, popularitas, kesuksesan, dan semacamnya. Duduklah tenang dan bertindaklah secara wajar. Itu sudah cukup, karena dengan melatih sikap tersebut sang Guru berhasil, sukses, dan menang dalam dua kali pertarungan. Bersikaplah tidak bertindak, maka segala sesuatu akan terselesaikan dengan sempurna dan membuahkan kebahagiaan. Dengan sikap tersebut, manusia mendapatkan kebijaksanaan sang Guru mengenai sesuatu yang harus dicari dalam dunia ini. Kebahagiaan, perdamaian, dan ketenangan akan mengikuti jika kita mampu mendalami dan menjadikannya prinsip bertindak kita.

Hidup sederhana, spontan, dan wajar bagi para pengikut Taoisme berarti hidup dengan prinsip wu wei. Wu wei yang secara literer berarti ‘tidak bertindak’ dijadikan suatu lifestyle dalam mengarungi kehidupan dan untuk meraih kebahagiaan. Namun, wu wei yang dimaksud bukanlah suatu pasivitas, melainkan suatu tindakan yang sederhana, spontan, lemah lembut, proaktif, dan alami. Tindakan yang membuat manusia mau “…melakukan dan memberikan diri untuk sesamanya demi suatu kebahagiaan…” dirinya dan bersama. Jika manusia sering melakukan tindakan yang tidak alami, berarti ia telah menjauh dari jalan Tao, sumber dari segala sumber kehidupan. Artinya ia telah gagal dan jiwanya akan hancur. Mereka percaya bahwa dengan bertindak demikian, … segala sesuatu dapat terpelihara dan terselesaikan dengan baik . Maka, sikap seorang Guru tidaklah berusaha meningkatkan ilmunya menjadi semakin tinggi, ia hanya …mengasingkan diri… dan meningkatkan ketenangan dan kedalaman dirinya lewat meditasi. Maka, wu wei adalah prinsip bertindak segerak dengan Tao.

Untuk dapat seperti itu, ia menerapkan prinsip wu wei. Cara bertindak seperti ini adalah sulit. Seorang Guru yang membimbing banyak murid untuk menerapkan wu wei, ternyata hanya dapat menghasilkan beberapa murid saja. Banyak murid yang tidak mampu hidup berdasarkan prinsip ini. Adanya kesulitan untuk menghidupi prinsip ini mengandaikan adanya suatu misteri dibaliknya, yang harus dipecahkan. Juga, adanya misteri berarti prinsip ini merupakan rahasia yang tidak bisa begitu saja dikuasai oleh sembarangan orang. Perlu pelatihan yang lama dan mendalam. Dengan demikian, wu wei merupakan suatu rahasia kehidupan yang mampu memberikan kekuatan dan jalan bagi orang yang mampu mengungkap rahasia tersebut. Dalam mendalami prinsip ini, rahasia akan dapat ditemukan jika manusia tidak mencari-cari rahasia tersebut.

Namun, mengapa wu wei itu rahasia? Wu wei menjadi rahasia karena prinsip ini tidak bisa begitu saja diberitahukan dan dijalankan kepada semua orang. Butuh kepercayaan dan ketahanan untuk dapat melakukan cara bertindak ini. Orang yang ingin mendalaminya harus bisa menemukan rahasia tersebut. Rahasia ini tidak bisa ditemukan bersama-sama, melainkan hanya secara personal saja. Apa yang harus dilakukan dalam mengungkap rahasia ini adalah manusia harus bersikap tidak melawan, tidak mengetahui, dan spontan. Sifat-sifat yang menjadi dukungan adalah sifat yang penuh damai, lemah lembut, dan sederhana. Jika manusia mampu masuk ke kedalaman dirinya, rahasia akan bisa terungkap. Keterungkapannya ini tidak didasarkan oleh keinginan untuk mencari atau membuka rahasia tersebut, melainkan keinginan untuk tidak berusaha mencari dan menemukan rahasia tersebut. Rahasia diungkap dengan tidak diungkap. Begitulah usaha yang harus dilakukan jika ingin hidup dalam prinsip wu wei.
Mungkin bagi banyak orang, prinsip hidup ini adalah hal yang aneh. Namun, begitulah yang sebenarnya terjadi. Wu wei harus menjadi prinsip bertindak manusia karena manusia harus seturut dengan jalan yang telah disiapkannya, yaitu jalan Tao. Jalan ini kerap disebut aneh karena Tao sudah tidak lagi menjadi hal yang wajar bagi manusia. Manusia memang harus hidup berdasarkan dan seturut Tao karena …Tao adalah pusat semua kehidupan... Jika tidak, maka manusia akan hancur dan segala kegiatannya akan gagal.

Tao itu juga bersifat gaib, misterius, dan dalam, namun segala sesuatu berpegang padanya. Manusia tidak bisa mengungkap begitu saja makna Tao karena Tao itu tak terungkap, tak terlihat, tak terkatakan. Tao itu “… sumber yang disebut misteri atau gaib...” Namun semuanya oleh Tao dapat diungkap, dilihat, dan dikenal. Maka dari itu, wu wei juga merupakan rahasia yang penuh misteri.

Seorang Guru, yang telah mengungkap rahasia ini dan hidup dengan prinsip wu wei, selalu … bertindak dengan membiarkan segala sesuatu terjadi sesuai dengan arah dan tujuan alaminya... Guru ini hanya bersikap tenang dan sederhana, tetapi segala tindakannya selalu menghasilkan makna yang besar bagi dirinya dan banyak orang. Yang lebih ia lakukan adalah meditasi dan mengolah diri. Ia tidak memiliki segala sesuatu. Ia kerap memberikan dirinya dan melakukan sesuatu bagi banyak orang, namun hidupnya selalu sejahtera. Inilah daya kerja Tao yang memberikan hidup bagi manusia.

Perkembangan filsafat Lao Tzu sampai sekarang ini amat pesat terutama dengan ajaran Taoismenya. Berbagai kegiatan seperti meditasi, bela diri, seni, dan semacamnya yang berbasis terang Taoisme sangat banyak diminati banyak orang. Manusia ingin mengungkap rahasia kehidupan di dalam dirinya. Salah satu contoh adalah seni bela diri Aikido. Bela diri Aikido adalah karya seni yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Karya seni ini akan terasa jika kita mampu melakukannya dan ketika manusia mampu masuk ke dalam gerak. Aikido adalah salah satu bela diri, namun bela diri ini tidak pernah menggunakan kekuatan yang berasal dari dirinya. Kekuatan dihasilkan dari musuhnya. Pelaksana Aikido akan mampu mengalahkan musuhnya jika ia mampu membalik kekuatan lawan menjadi kekuatan dirinya. Ia tidak melakukan sesuatu yang besar, namun membuahkan hasil yang besar. Maka dari itu, seni ini membutuhkan rasa ketenangan dan keheningan yang dalam. Dan rasa ini akan muncul dengan sendirinya jika manusia dapat mengintegrasikan wu wei ke dalam dirinya, menjadi satu gerak dengan Tao. Pelaksana yang seperti ini berarti telah menjadi satu dengan Tao.

Dengan demikian, secara umum, wu wei adalah suatu rahasia yang harus diungkap agar manusia dapat sampai kepada Tao. Rahasia ini dapat diungkap, jika manusia tidak berusaha mengungkapnya. Biarkan itu ...terjadi secara alami dan spontan . Manusia hanyalah bersikap wajar dan sederhana terhadap segala hal yang terjadi karena tujuan hidup manusia adalah bersatu dengan Tao. Jangan banyak berbuat, namun percayalah pada Tao, segala hal akan dapat terselesaikan dengan sempurna. Manusia akan dapat dan terus berkembang dan peradabannya akan semakin tinggi. Kebahagiaan, ketenangan, dan kedamaian akan menjadi bagian dirinya.

Lao Tzu, sebagai pribadi

Sejarah mengenai Lao Tzu pertama kali diketahui lewat Ssu-ma Ch’ien, seorang sejarawan cina, yang menuliskan biografi Lao Tzu dalam bukunya “Records of the Historian” (shi-chi) pada 100 SM. Dalam buku tersebut dikisahkan diri Lao Tzu secara sederhana karena selama menjalani ajarannya ia hidup menyepi dari dunia yang membuat namanya tidak terlalu dikenal oleh masyarakat luas pada waktu itu. Kehidupan pribadi Lao Tzu memang dipenuhi dengan misteri. Ini dikarenakan ia tengah menghidupi jalan Tao yang membuatnya harus menyingkir dari dunia dan bersatu dengan alam. Ia sama sekali tidak meninggalkan jejak yang jelas. Hanya buku Tao Te Ching saja yang bisa diketahui dengan pasti. Maka, banyak sejarawan dan filsuf menuliskan biografi Lao Tzu sesuai dengan apa yang mereka temukan. Dalam tulisan ini, kita akan berfokus pada tulisan Ssu-ma Ch’ien tanpa bermaksud menghilangkan tulisan para ahli lainnya.

Ssu-ma Ch’ien menuliskan bahwa Lao Tzu diperkirakan lahir pada 600 atau 400 SM di sebuah negara bagian Ch’u, di kabupaten (district) K’u, kecamatan (county) Li, dan Desa (hamlet) Ch’ü-jen . Nama keluarga Lao Tzu adalah Li sedangkan namanya sendiri adalah Erh. Ia juga mempunyai sebutan atau gelar yaitu Tan. Ssu-ma Ch’ien sendiri merasa kurang yakin apakah Lao Tan yang legendaris adalah tokoh yang sama dengan Lao Tzu sang penulis Tao Te Ching . Umur Lao Tzu menurut Ssu-ma Ch-ien mungkin sekitar 150 tahun, namun beberapa orang mengatakan bahwa ia hidup hingga 200 tahun lebih. Usia yang sangat panjang ini diakui dan dipercaya dapat dicapai olehnya mengingat ia hidup di jalan Tao sebagai prinsip dasar hidupnya.
Ssu-ma Ch’ien dalam bukunya juga mengkaitkan Lao Tzu dengan dua nama yang identifikasinya kurang lebih sama. Mereka adalah Lao-Lai Tzu , seorang Taois yang diperkirakan pernah dikunjungi oleh Konfusius, dan Lao Tan , seorang ahli astronomi. Ketiga nama yang berbeda ini, menurut Ssu-ma Ch-ien, adalah satu orang yang sama. Nama Lao Tzu dalam buku Ch-ien memang penuh dengan misteri yang di kemudian hari akan selalu menjadi diskusi yang tidak pernah selesai. Dalam skripsi ini, penulis tidak menaruh perhatian lebih dengan perbedaan-perbedaan ini dan hanya akan lebih fokus pada hakekat manusia menurut Lao Tzu.

Menurut Ssu-ma Ch-ien, Lao Tzu dan Lao Lai Tzu adalah orang yang sama, meskipun beberapa ahli menganggapnya berbeda. Ia mengisahkan bahwa Lao Lai Tzu pernah dikunjungi oleh Konfusius. Setelah kunjungan tersebut, Konfusius mendapatkan pemahaman darinya tentang kehidupan yang lepas dari keangkuhan dan kemewahan duniawi semata saja. Ia pernah menasehati Konfusius untuk pensiun dari pekerjaannya di kerajaan. Lao Tzu juga disebut sebagai seorang tua, yang biasa membawa sekeranjang rumput liar. Sebutannya seperti itu sering dikaitkan dengan asal kata namanya, yaitu Lao yang berarti orang tua dan Lai berarti merumput. Sedangkan mengenai Lao Tan, para ahli sampai sekarang ini masih belum sepakat apakah Lao Tzu dan Tan adalah orang yang sama atau bukan. Hal ini diketahui dari sejarah yang menceritakan Tan yang mengunjungi Pangeran Hsien dari Ch’in pada 374 SM. Beberapa ahli sejarah menyatakan Tan adalah Lao Tzu, namun ada juga yang menyangkal pernyataan ini. Dalam tulisan ini, tokoh Tan dimasukan karena masuk dalam penelitian Ssu-ma Ch-ien.

Semasa mudanya, Lao Tzu pernah bertugas sebagai seorang pegawai kerajaan pada masa Dinasti Chou (1111-255 SM) di sebuah kantor penyimpanan dokumen-dokumen dan surat-surat kuno dan bersejarah. Dengan diterimanya di kantor seperti itu, dapat dipastikan kalau Lao Tzu merupakan seorang yang ahli dalam ilmu astrologi dan peramalan. Ia pun bertanggung jawab terhadap buku-buku suci dan rahasia. Dalam masa kerjanya, ia sudah mempraktekkan sebuah jalan hidup, yang kemudian dikenal sebagai aliran Taoisme. Keutamaannya merupakan buah dari refleksi hidupnya selama berada di dalam perpustakaan dokumen penting tersebut. Ia menekankan sebuah kehidupan yang jauh dari keinginan diri atau hasrat semata yaitu suatu kehidupan yang murni dan bersih. Pengetahuan seperti ini ia dapat dari pengalaman hidupnya yang kental dengan suasana kerjanya yaitu menekuni dokumen dan surat kuno. Ia ingin mengajak manusia kembali menghidupi Tao.

Dalam masa pensiunnya, ia mempraktekkan prinsip jalan dan keutamaan tersebut. Ia semakin menjalankannya secara radikal yaitu dengan menjauh dari dunia dan hidup di hutan. Lewat usahanya tersebut, ia dapat hidup panjang dan ini merupakan buah dari usahanya menjalankan prinsip-prinsip kehidupan yang dibuatnya. Jalan Tao muncul karena suatu protes terhadap manusia yang sangat peduli pada dirinya sendiri, yang menurut Lao Tzu merusak dirinya sendiri. Contoh yang paling konkrit pada masa itu adalah perang. Perang sangat dibenci Lao Tzu karena perang sangat mementingkan diri penguasa saja. Rakyat dengan perang menjadi semakin tepuruk dan menderita. Tidak ada kebahagiaan dan kedamaian yang didapat dari peperangan.

Manusia memang harus menemukan kebahagiaan, bukan kesuksesan. Ini didiapat dengan mengikuti jalan Tao, bersatu dalam gerak Tao. Ssu-ma Ch’ien mengatakan bahwa Lao Tzu dalam hidup di jalan Tao juga merupakan seorang pribadi yang sangat asketis. Ia hidup menyendiri terpisah dari dunia yang ramai, mungkin di dalam gua, dengan menekankan prinsip hidup wu wei, yaitu kesederhanaan, penuh kedamaian, ketenangan batin, dan kemurnian pikiran atau budi.

Menurut Lao Tzu, hidup mengikuti dunia dan berusaha memperbaikinya merupakan suatu penurunan atau kemunduran kehidupan. Ia menyatakan bahwa praktek hidup dalam jalannya bisa membantu memperbaiki kehidupan manusia di dunia ini. Maka ketika ia hendak pensiun, ia mengungkapkan praktek hidupnya tersebut di atas kertas sebanyak 5000-an kata. Usaha ini sebenarnya dibuat atas permintaan Yin-hsi, seorang penjaga gerbang. Ide yang tertuang dalam satu buku tersebut yang kemudian dipisah menjadi dua bagian, yaitu jalan (Tao) dan daya hidup (Te), yang merupakan refleksi Lao Tzu mengenai kehidupan dan cara menanggapi kehidupan tersebut. Buku ini kemudian dikenal dengan kitab Tao Te Ching. Isi kitab ini berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum untuk kehidupan manusia agar tetap selaras dengan sesama dan alam.

Lao Tzu, secara psikologis, mengembangkan jalan Tao ini dikarenakan ia berkembang dalam dunia yang lemah dan tak berdaya. Lingkungan daerahnya yang miskin dan kecil mendasarkan ajarannya untuk bersikap lembut dan selaras dengan alam. Ia tidak mengajak pengikutnya untuk mampu mengintrospeksi diri dan kemudian memperbaiki apa yang telah diperbuatnya. Ia juga tidak mengajak orang untuk berjuang meraih impian di masa depan. Kesatuan dan keselarasan dengan alam adalah tujuannya. Dalam kesatuan tersebut kebahagiaan akan ditemukan.

Solusi yang digunakan Lao Tzu dalam memperbaiki negara adalah menghindar dari struktur pemerintahan karena oknum-oknum dalam dinastilah sumber utama ketidakberesan. Merekalah yang menciptakan adanya peperangan. Menurutnya jalan hidup sederhana ini adalah solusi tepat agar dinasti bisa maju dan berkembang dengan saling menghargai dan menghargai martabat manusia. Pada waktu buku Tao Te Ching ini ditulis, Dinasti Chou memang sedang mengalami masa kemunduran. Jika dinasti ingin terus bangkit, dinasti harus mengurangi peranannya dalam masyarakat. Dinasti tidak boleh terlalu ikut campur. Biarkan saja segalanya berjalan seperti adanya.

Nama Lao Tzu sebagai pribadi selalu dikenang sepanjang masa. Para konfusianis mengenangnya sebagai seorang filsuf yang dihormati, di mana Konfusius sendiri juga mengaguminya dan mengkonotasikannya seperti seekor naga yang dengan lihai terbang menembus awan dan angin. Masyarakat luas juga mengenangnya sebagai seorang suci atau dewa. Para Taoist sendiri menyatakan bahwa Lao Tzu adalah emanasi dari Tao.

Lao Tzu dan Konfusius, Suatu Perbandingan

Semua orang di dunia ini memiliki potensi untuk menjadi bijak. Ungkapan ini merupakan ungkapan yang sangat ditekankan oleh Lao Tzu dan Konfusius. Ungkapan ini juga merupakan tujuan bagi para pengikut mereka dalam menggeluti dan menanamkan di dalam diri ajaran jalan kehidupan Lao Tzu dan Konfusius. Dengan menjadi bijak dapat diandaikan bahwa Lao Tzu dan Konfusius menekankan keinginan manusia untuk menjadi baik. Dua aliran ini sama-sama memberikan jalan untuk menjadi manusia yang baik dan bijaksana. Jalan yang harus mereka lewati merupakan jalan yang menolak kekerasan dan perang karena memang dilihat dari latar belakang berdirinya, mereka ingin membentuk kehidupan yang sama sekali jauh dari perang. Juga, dasar nilai yang ditanamkan oleh Lao Tzu dan Konfusius merupakan dasar nilai yang menjunjung tinggi kebaikan, kesetiaan, dan kedalaman hati.

Dalam perkembangan peradaban Cina, aliran Lao Tzu dan Konfusius berkembang dengan pesat dan menjadi dasar tindakan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Bisa dikatakan bahwa budaya dan tradisi Cina dapat berkembang karena peranan dua aliran ini. Jalan yang dikembangkan ini diakui dan dipercaya dapat memberikan keselamatan hidup. Lebih lagi, kedua aliran ini yang dibentuk oleh Lao Tzu dan Konfusius, memiliki dasar yang sangat berbeda, walaupun lahir dalam masa yang sama, yaitu di masa negara-negara berperang. Perbedaan ini oleh penulis akan lebih ditajamkan dengan membaginya menjadi empat kategori, yaitu perbedaan latar belakang, sifat-sifat ajarannya, cara bertindaknya, dan tujuan yang ingin dicapai ketika mendalami ajaran-ajaran tersebut.

Latar belakang ternyata juga menjadi perbedaan mendasar yang membuat Lao Tzu dan Konfusius amat terkenal dan diterima dalam masyarakat. Mereka lahir dan berkembang dalam dua situasi yang berbeda walaupun berada hampir dalam satu masa, yaitu masa negara-negara berperang. Aliran yang masing-masing dikembangkan merupakan suatu usaha solutif dari apa yang mereka alami semasa kecil dan dewasa, tentunya dengan analisa dan refleksi masing-masing soal manusia dan negara pada waktu itu. Lao Tzu diperkirakan lebih tua dari Konfusius, namun ajaran Lao Tzu merupakan tandingan ketika ajaran Konfusius berjaya.

Lao Tzu berasal dari Ch’u atau Ch’ien, suatu daerah yang berada di selatan Sungai Huang He. Ch’u merupakan daerah yang kecil dan tertekan oleh peperangan sehingga perkembangan kebudayaannya menjadi tidak terlalu kuat. Ia sendiri bekerja di perpustakaan buku-buku dan surat-surat kuno dan berharga di mana ia harus bersikap diam dan teliti. Hal ini membuatnya senang hidup menyendiri dan menyepi. Pengalaman hidup menyendiri di tempat kerja membuatnya menemukan jalan Tao. Juga, pengetahuan akan masa lampau menjadi bertambah setelah membaca dokumen-dokumen dan surat-surat kuno dan bersejarah. Maka tidaklah disangkal bila Lao Tzu dengan jalan Tao-nya mengajak manusia untuk bersikap melawan dan mengritik pemerintah dan menolak adanya suatu institusi yang sangat birokratif. Hal ini mungkin saja pengaruh dari masa kecilnya yang selalu dikelilingi suasana peperangan. Solusi dari rasa tertekannya adalah bersikap diam dan menyepi.

Sedangkan Konfusius adalah sebaliknya. Ia mengajak manusia untuk bersikap baik dan bekerja keras untuk ikut berpartisipasi bersama pemerintah. Ia juga mengajak manusia untuk menghormati leluhur. Konfusius lahir dan berkembang di negara Lu, suatu daerah yang berada di sebelah utara Sungai Huang He. Daerah ini merupakan daerah yang kuat dalam perekonomian dan pertahanan. Selain itu, ia juga berasal dari klan yang makmur dan sejahtera. Ia memang berkembang dalam situasi yang kuat sehingga tak heran ajarannya bertujuan mengajak manusia untuk mampu berjuang di dunia yang penuh liku dengan kecerdasan di bidang moral, tradisi, dan kebudayaan.

Dengan latar belakang lingkungan dan keluarga (klan) yang seperti disebutkan di atas, kita akui bahwa ada perbedaan di antara yang lemah dan yang kuat yang sama-sama memberikan solusi yang positif, ajaran Lao Tzu dan Konfusius. Dari yang kuat dan lemah tersebut dapat diketahui juga sifat-sifat ajarannya. Lao Tzu dalam jalan Tao mengajak pengikutnya untuk tidak bertindak dalam menghadapi segala sesuatu dengan pikirannya sendiri, melainkan menjadikan segala sesuatu tersebut selaras dengan alam. Kedamaian pikiran dan kelembutan jiwa merupakan usaha yang harus diperjuangkan. Maka tidak heran bila Taoisme memiliki sifat personal, tenang, lembut, selaras, dan bijaksana. Ajaran jalan Tao mengajak manusia untuk selalu selaras dengan alam. Maksudnya agar manusia tersebut mendapatkan transformasi ataupun pengetahuan lewat keselarasan tersebut dan bukan dengan mengolah dalam pikiran perbuatan baik dan buruk yang harus dilakukan. Tak ada unsur paksaan dalam melakukan cara bertindak Tao ini. Sifat-sifat seperti ini bertolak belakang dengan konfusianisme. Ajaran Konfusius bisa dikatakan sangat aktif, energik, sopan, maskulin, dan ditujukan untuk semua, yaitu negara, diri sendiri, leluhur dan orang tua. Dalam konfusianisme setiap orang wajib melakukan sesuatu demi yang baik. Mereka dituntut untuk ahli dalam hal moral dan mampu dengan baik beradaptasi dengan lingkungan sosialnya, terutama terhadap yang lebih tua. Maka pendidikan adalah hal yang penting dalam konfusianisme. Pendidikan ditujukan agar dalam bersikap dan berpikir mereka menjadi lebih sopan, cerdas, berbudi, dan bermoral. Kebenaran bagi konfusianis adalah sesuatu yang rasional dan berdasarkan tradisi.

Perbedaan selanjutnya adalah mengenai cara bertindak mereka. Yang satu, Lao Tzu, adalah wu wei dan yang lain, Konfusius, bertindak aktif. Ini suatu perbedaan antara yang pasif dan yang aktif. Dalam menanggapi pemerintah atau negara, Lao Tzu bersikap melawan dan menghindar terhadap institusi pemerintah yang berbelit-belit dan tidak jujur. Ia menyarankan agar pemerintah juga selaras dengan alam. Sedangkan Konfusius mengajurkan untuk bertindak membenahi pemerintah yang berbelit-belit dan tidak jujur tersebut. Dalam hal tradisi, Lao Tzu mengajak untuk menolak berbagai perayaan yang dibuat-buat dan mahal. Ia juga menolak adanya instrumen musik. Dengan wu wei ini, para Taois dapat benar-benar bersatu dengan alam tanpa memperhitungkan baik buruknya karena memang dengan bersatu atau selaras dengan alam adalah perbuatan baik yang akan menghasilkan manusia yang bermutu. Prinsip hidup wu wei tidak memerlukan berbagai pertimbangan. Saedangkan, konfusianisme mengartikannya berbeda. Konfusianisme menuntut adanya partisipasi bersama dengan pemerintah. Tindakan selaras dengan pemerintahan adalah tindakan yang didasari oleh prinsip-prinsip moral yang rasional. Tindakan ini menjunjung kemanusiaan dan demi kebutuhan dan kebahagiaan masyarakat secara keseluruhan. Konfusius menambahkan bahwa dengan bertindak secara bermoral dan demi kemanusiaan, seorang pribadi dapat menjadi mulia dan agung. Kebahagiaan akan selalu menjadi bagian dirinya. Prinsip seperti ini juga ditujukan dalam tradisi. Konfusius sangat menekankan manusia untuk menghormati orang tua dan leluhur. Dengan menghormati mereka, tindakan-tindakan manusia akan selalu diberkati dan akan menghasilkan kebahagiaan. Maka kekuatan tradisi dengan perayaan besar dengan musik yang meriah adalah perlu.

Perbedaan yang terakhir adalah mengenai tujuan yang ingin dicapai. Lao Tzu sangatlah menekankan manusia untuk dapat bersatu dengan alam dalam seluruh masa hidupnya. Tao manusia dan Tao alam harus bersatu untuk menciptakan hubungan yang harmonis. Untuk itu, kehidupan ideal menurut Lao Tzu adalah yang sederhana dan harmonis. Maksudnya adalah kehidupan yang terang, tanpa pamrih, meninggalkan kecerdikan, mengurangi egoisme, dan mematikan hasrat. Bagi Konfusius, tujuan hidup manusia adalah bersatu dengan langit (Tian) dan kebahagiaan. Kebahagiaan manusia menjadi kunci utamanya. Maka tidak heran perayaan besar dengan musik yang meriah menjadi mungkin karena disitulah para konfusianis melatih emosi dan hasrat dan kemudian menemukan kebahagiaan. Kehidupan ideal adalah hidup yang baik dan sejahtera dan itu muncul dari manusia dan bukan alam.

Dari berbagai perbedaan di atas dapat dikatakan bahwa Taoisme memang lebih berkonsentrasi pada manusia dan ketenangan jiwanya. Sedangkan Konfusianisme menekankan keteraturan sosial dan kehidupan yang aktif. Kedua aliran ini dikatakan saling bertolak belakang dan karenanya Taoisme disebut suatu kritik terhadap Konfusianisme.

Peran Taoisme dalam Masyarakat Cina

Taoisme dalam perkembangan masyarakat Cina memiliki pengaruh yang luar biasa. Perkembangan Konfusianisme pun, sebagai suatu ajaran yang dominan dalam sejarah pemikiran Cina, di kemudian hari juga dipengaruhi oleh Taoisme, yaitu aliran Neo-Konfusianisme. Taoisme telah masuk sampai ke kedalaman kehidupan manusia. Perkembangan yang luar biasa ini dikatakan oleh banyak orang masih sebagai suatu misteri. Banyak ahli mempertanyakan mengapa ajaran yang berdasar pada ketenangan jiwa dan kesederhanaan ini mampu menjadi kuat dan tetap unik, tidak banyak berubah. Di lain pihak, dalam usaha untuk mengungkap misteri tersebut para filsuf Cina malah tidak pernah menemukan titik temu. Salah satu indikasinya adalah adanya 950 buku lebih interpretasi dan komentar tentang Kitab Lao Tzu atau Tao Te Ching di dunia ini sampai saat ini. Setiap buku itu menerjemahkan dan menginterpretasikan kembali kitab Tao Te Ching dalam persepsi dan paradigma yang berbeda-beda.

Dari munculnya hingga sekarang ini ajaran Lao Tzu mampu dikembangkan dan diadaptasikan oleh berbagai segi kehidupan masyarakat, seperti agama, pengetahuan, kesehatan, ilmu bela diri, dan lain sebagainya. Gerakan aliran ini semakin beredar dan kuat ke seluruh daratan Cina selama berabad-abad. Wing Tsit Chan juga menambahkan bahwa perkembangan yang luar biasa ini mungkin dikarenakan banyaknya penindasan di daratan Cina pada masa negara-negara berperang. Taoisme memang menawarkan sebaliknya. Ia membawa masyarakat pada titik ketenangan dan kedamaian sehingga masyarakat mendapatkan kembali kebahagiaan yang telah lama hilang karena penindasan dan peperangan.

Filsafat Taoisme dalam sejarah perkembangan masyarakat selalu disebut sebagai filsafatnya kaum miskin dan tertindas. Filsafat ini ingin menunjukan suatu pendapat yang melawan tekanan dari pemerintah. Dalam kitab Tao Te Ching, Lao Tzu juga mengisahkan bagaimana ia melawan serangan keji pada institusi politik dan juga sosial. Ia sudah benci melihat tingkah laku pemerintah yang membiarkan rakyatnya kelaparan karena pajak yang terlalu tinggi. Rakyat di masa itu sudah tidak bisa lagi berkutik menghadapi tekanan pemerintah, termasuk juga kaum feodal, hingga akhirnya rakyat hanya bisa diam dan pasrah, namun itu tidak membawa rakyat pada keruntuhan. Lao Tzu, dengan melihat situasi rakyat yang seperti itu, mengangkatnya menjadi suatu jalan baru kehidupan. Kehidupan yang sederhana dan alami yang ia rasakan bersama klannya ia kembangkan menjadi suatu ajaran pokok. Ia menyarankan untuk menghindari kehidupan seperti yang dijalankan pemerintah yaitu kehidupan di mana kehormatan dan kesejahteraan menjadi bagian yang penting. Baginya tak ada lagi kemanusiaan, walaupun sudah dikumandangkan bahwa kemanusiaan harus dijunjung tinggi. Tak ada lagi aturan kesopanan terhadap yang lebih tua dan leluhur karena itu hanya akan memperkuat penindasan. Tak ada lagi kebenaran karena kebenaran hanyalah milik penguasa. Bagi Lao Tzu, jika kita terlalu berfokus pada hal-hal tersebut kita akan jatuh karena hal-hal itulah penyebab munculnya ketidakteraturan di dunia ini. Lao Tzu, dengan melihat semua hal tersebut, mengajak masyarakat untuk tidak menghiraukan atau membuang keinginan menjadi bijak dan santun karena dengan begitu manusia akan mendapatkan beratus-ratus kebijaksanaan. Rakyat harus membuang kemanusiaan dan kebenaran karena dengan begitu manusia akan mendapatkan kebaikan murni dan cinta murni yang mendalam dan juga membuang keahlian dan keuntungan karena dengan begitu tak akan ada lagi kekejian dan kemunafikan.

Ajaran Taoisme sampai sekarang ini masih terus berlangsung dan berkembang. Sedangkan filsafat Taoisme murni dalam dunia Cina ternyata hanya bertahan selama 800 tahun. Selama masa tersebut filsafat Taoisme menjadi dominan dan menggerakan semangat orang yang mendalaminya untuk mendapatkan yang terbaik, yaitu selaras dengan alam. Namun, dalam kurun waktu tersebut Taoisme bergerak dan berasimilasi dengan aliran lain, yaitu Budhisme dan Neo-Konfusianisme. Hingga akhirnya, Taoisme tidaklah benar-benar mati, melainkan dapat hidup selaras dengan aliran lainnya atau berasimilasi dengan ajaran-ajaran tersebut. Salah satunya adalah agama Taoisme yang masih tetap ada dan menyemangati hidup orang-orang yang mengikutinya.

Kini, semangat Taoisme dapat ditemukan dalam suatu cinta dari ketenangan spiritual dan kedamaian jiwa. Ada yang menemukan dalam suatu kebijaksanaan, dalam ketenangan, dalam kesejahteraan ketika melihat yang miskin, dan dalam segala hal yang berusaha untuk mempertahankan hidup dan menghidupi alam. Semangat taoisme ada dalam ketersembunyian bersama puisi-puisi, seni menggambar dan melukis, keindahan taman-taman dan gunung-gunung, dan ketenangan minum teh. Ketersembunyian Tao ini membawa masyarakat Cina menuju ketenangan, ketidaksombongan, kesederhanaan, dan kebebasan dari hasrat semata. Hidup harmonis dengan alam telah membawa kehidupan masyarakat Cina menjadi lebih baik. Inilah pengaruh dari semangat hidup bersatu dengan alam.

Masuknya ajaran Lao Tzu dalam peradaban Cina membentuk suatu masyarakat yang sederhana, namun tidak terlalu primitif. Mereka menolak adanya alat-alat perang, barang-barang mewah, dan segala sesuatu yang berbau kepraktisan dalam hidup. Masyarakat ideal Lao Tzu adalah masyarakat yang mampu terus beradaptasi selaras dengan perubahan alam untuk bertahan hidup. Semangat wu wei yang dinamis membawa manusia pada kebahagiaannya. Perkembangan ajaran Lao Tzu ini di kemudian hari ternyata tidak hanya seputar alam terpencil saja, tetapi juga menjadi prinsip suatu negara, misalnya pada masa Dinasti Han (25-220 M). Pada masa dinasti ini, ajaran Lao Tzu dijadikan agama negara dan Lao Tzu menjadi figur yang dihormati setiap orang, tak terkecuali para penguasa. Orang-orang sejak saat itu menyebutnya sebagai Lao-chün (Lord Lao) yang dikenal sebagai sang penyembuh dan sang penyelamat umat manusia.

TAO

Seperti yang sudah dikatakan dalam bab pertama bahwa Lao Tzu dalam mengungkapkan jalan Tao berkeinginan untuk memperbaiki kemunduran atau kebobrokan yang dialami manusia, negara, alam, atau semua aspek di dalam dunia ini. Lao Tzu sangat berfokus pada kegiatan dan ajaran yang konstruktif untuk manusia. Ia berusaha mencari dasar yang sebenarnya agar manusia memiliki pegangan yang baik dan kokoh untuk berpijak. Dengan paham yang konstruktif ini, Lao Tzu juga menunjukkan ajarannya untuk manusia dalam bersikap terhadap semua hal, dan bukan hanya terhadap sesamanya. Tao, menurut Lao Tzu, adalah sumber dan dasar dari segala sesuatu. Melalui ajaran tersebut, Lao Tzu membawa manusia untuk hidup secara natural seperti alam, apa adanya. Jalan Tao juga baik untuk rekonstruksi sosial dan politik demi kebahagiaan semua umat manusia.

Tao adalah sumber dari segala sesuatu. Definisi tersebut merupakan suatu uraian singkat dan umum mengenai Tao yang akan membawa pada ajaran Lao Tzu yang lebih spesifik, yaitu wu wei. Untuk itu, tema-tema yang akan dibahas di sini adalah seputar Tao, seperti wu (yang tak berwujud), tzu-jan (spontanitas), li (keteraturan alamiah), hsüan (misteri), dan air, suatu metafor Tao.

Tao, , dalam karakter Cina kuno memiliki dua arti penting yang membentuk makna, yaitu ‘shou’ (kepala, pimpinan, yang lebih dahulu) dan ‘cho’ (berjalan selangkah demi selangkah). Cho itu bersifat siklis karena mengandung makna berjalan dan berhenti sebentar seperti siklus yin dan yang. Jadi ketika ‘berjalan’ dimulailah masa yang dan ketika ‘berhenti’ dimulailah yin, dan begitu juga sebaliknya. Dalam dua arti ini, Tao secara literer diartikan sebagai seseorang yang melakukan perjalanan yang selaras atau harmonis. Beberapa penafsir mengartikan ‘seseorang yang melakukan perjalanan’ ini dengan sebutan ‘metode’, ‘prinsip’, ‘kebenaran’, dan juga ‘realitas’. Namun, arti yang kerap dipakai adalah sebuah jalan, ‘the way.’ Kata ini dipakai untuk menjelaskan manusia dan segala yang ada di dunia ini sedang dalam perjalanan menuju kesatuan dengan Tao. Tao adalah suatu ajaran yang mengajak untuk mengalir begitu saja seperti air di sungai, secara spontan, namun bermakna memberikan ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan.

Dalam Tao Te Ching, Lao Tzu menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa Tao itu adalah suatu realitas yang melampaui yang menjadi sumber dan akhir segala sesuatu. Tao adalah ibu dan nenek moyang dari segala sesuatu. Tao hadir sebelum langit dan bumi diciptakan. Tao adalah gudang dari segala sesuatu. Siapa atau apa saja yang ingin hidup haruslah melalui jalan ini. Dalam substansinya, Tao tidak terlihat, tak terdengar, tak jelas, tak terpahami, tak terdeskripsikan, dan mengatasi bentuk dan keadaan. Ia tidak terikat pada ruang dan waktu. Tao adalah suatu kesatuan dari berbagai macam hal. Ia satu seperti batang pohon yang belum dibelah menjadi kayu-kayu potongan. Tao itu abadi dan tak tergantikan karena Tao selalu begerak atau mengalir ke mana saja dan tak pernah memiliki akhir. Tao tak pernah habis, karena Tao tak penah kosong. Tao tak tergantung pada siapa atau apa pun. Ia alami dan datang dengan sendirinya dan membentuk kehidupan.

Tao itu menawan, namun tak bernama (wu ming). Tao itu merupakan yang ‘tak berwujud’ (wu). Wu sebagai Tao jelaslah sebagai suatu realitas yang pokok dan energi bagi dunia (universe). Tao menjadi dasar bagi yang berwujud (you) dan yang tidak berwujud (wu). … Semua hal di dunia ini datang dari you. Semua you datang dari wu (Tao Te Ching 40). Pengertian wu penting untuk filsafat Lao Tzu. Di dalam pengertian tersebut dinyatakan suatu pandangan tentang prinsip dasar dunia ini, yaitu ketidak-adaan penuh misteri (wu). Dalam Tao Te Ching 40 terlihat dengan jelas bahwa asal mula segalanya adalah wu. Wu merupakan pokok dan dasar. Ia datang lebih dahulu dari you. Namun, adanya wu bukan berarti dunia ini mengalami masa hampa atau kosong, melainkan mengalami masa ketidak-adaan dan masa ketidak-adaan tersebut tidaklah kosong, melainkan ada entitas yang mampu menyelesaikan segala sesuatu dengan sempurna. Untuk lebih jelasnya, Fung Yu Lan menuliskannya demikian:
Tao itu tak terpahami, gaib dan penuh misteri, namun tersembunyi di dalamnya bentuk-bentuk you. Tao itu tak terpahami, gaib dan penuh misteri, namun di dalamnya terdapat entitas. Ia seperti bayangan dan suram, namun di situ terdapat essensi. Essensi ini sangatlah murni dan penuh daya.

Maka, wu dan you adalah hasil dari Tao dan Tao selalu sepadan dengan semua yang ada. Segala hal di dunia ini merupakan hasil dari you atau dengan kata lain merupakan hasil dari jalan Tao. You, menurut Alan Watts, tercipta secara alami (tju-zan) dan sesuai dengan tujuan masing-masing diciptakan. You memiliki karakter dan fungsi yang berbeda-beda, namun Tao dapat masuk ke dalam semua perbedaan prinsip tersebut. Juga, menurut Alan Watts, wu itu sepadan dengan you. Maka dapat disimpulkan bahwa Tao membuat jalan untuk segala sesuatu di dunia ini secara alami. Maka, prinsip wu dan you sama pentingnya dalam menciptakan keselarasan di dunia ini, walaupun wu datang lebih dahulu. Jika keselarasan di dunia bisa dirasakan semua orang, maka kedamaian dapat diklaim telah ada walaupun prosesnya tak terlihat.

Alan Watts menganalogikan Tao yang metafisis ini dengan substansi suatu atom. Atom yang kita ketahui adalah suatu entitas yang sangat amat kecil, atom itu diakui terdiri dari elektron, neutron, dan proton. Masing-masing dari ketiganya memiliki fungsi dan tujuannya. Kemudian jika ketiganya diatur sedemikian rupa, atom akan memiliki daya dan daya ini dapat kita ketahui dari hasilnya, yaitu seperti bom atom. Tao setidaknya sama seperti itu. Manusia tidak bisa mengetahui dan melihat apa itu dan di mana keberadaan Tao. Hal ini sama seperti kalau manusia mengandaikan atom. Atom sangat kecil dan tidak dapat terlihat dengan kasat mata, namum memiliki daya yang sangat luar biasa. Juga, daya Tao sangat besar dan bisa lebih besar dari bom atom.

Han Fei Tzu ( 233 SM), seorang komentator pertama Lao Tzu, juga mengungkapkan hal yang sama. Ia menyatakan bahwa prinsip Tao membuat segalanya menjadi teratur karena segala sesuatu dapat berjalan sesuai dengan kealamiahannya atau hukum alaminya. Dengan mengikuti jalan Tao, Fei Tzu menambahkan, segala sesuatu berjalan dengan konstan dan tetap. Perealisasian segala sesuatu menjadi harmonis dan teratur dan sepertinya sudah ada yang mengatur sesuai dengan hukum-hukum alam tertentu. Hal tersebut tidak bisa dikatakan janggal, melainkan sebagai sesuatu yang dalam, halus, dan sukar untuk dipahami. Jalan Tao adalah real dan rasional.

Tao bekerja secara alami atau tzu-jan , . Pergerakan Tao dalam konteks ini adalah spontan. Maka, menurut Alan Watts, ke-real-an atau kealamian Tao adalah berkembang dan berprosesnya segala sesuatu dengan bebas tanpa paksaan. Namun, dalam spontanitas juga terdapat relasi satu sama lain. Misalnya, daun yang hijau dan segar memiliki relasi terhadap matahari, air, dan tanah; hujan memiliki relasi dengan angin dingin dan awan, dan lain sebagainya. Jika pohon dapat tumbuh besar dan tinggi, maka pohon tersebut telah menjalin relasi yang harmonis satu dengan yang lain. Perkembangan Tao dalam arti ini bukanlah perkembangan dengan paksaan ataupun pengaruh yang disengaja. Juga, hal ini bukan karena ada hukum yang membatasi. Ini adalah proses alami. Sebagai contoh: adanya peristiwa banjir terus menerus di satu tempat merupakan peristiwa yang telah berpaling dari proses tzu-jan atau jalan Tao. Banjir semacam ini lebih dikarenakan oleh keputusan dan tindakan manusia yang disengaja. Peristiwa semacam ini sudah tidak menunjukkan relasi unik dalam alam ini. Tzu-jan bukanlah berarti artifisial, sewenang-wenang, atau keteraturan abstrak. Tzu-jan layaknya ketergantungan yang seimbang dan harmonis satu sama lain dari segala sesuatu, jika dibiarkan begitu saja. Pergerakan tju-jan nyata dan hasilnya dapat dirasakan manusia. Penekanan oleh Lao Tzu ada dalam Tao Te Ching 39 seperti berikut ini:

Dalam keharmonisan dengan Tao,
Langit itu jernih dan luas,
Bumi itu solid dan lapang,
Semua ciptaan saling menyuburkan,
dipenuhi dengan jalan dan daya hidup,
selalu berkembang tanpa habis,
selalu menjadi baru tanpa bisa musnah.

Ketika manusia telah mencampuri Tao,
Langit menjadi suram,
Bumi terkuras,
Keseimbangan menjadi remuk,
Ciptaan menjadi musnah.

Seorang Guru melihat yang terjadi ini dengan penuh haru,
karena ia memahami keseluruhan kreasi.
Tindakannya selalu rendah hati.
Dia tidak ingin menjadi gemerlap seperti permata
melainkan membiarkan dirinya dibentuk oleh Tao,
karena ia merasa keras dan dangkal seperti batu.

Maka, dengan proses tzu-jan, manusia akan menikmati keteraturan yang membahagiakan dan membuat hidup ini menjadi nyaman. Namun, keteraturan dalam Tao ini bukanlah keteraturan yang bisa dibahasakan atau dibakukan menjadi suatu hukum tertulis di mana semua orang dapat mengikuti jalan kebahagiaan yang telah dicapai orang terdahulu. Keteraturan di sini bersifat tidak teratur. Keteraturan tzu-jan itu bersifat seperti Tao karena memang bergerak begitu saja. Setiap detik adalah khas dalam Tao. Maka pertanyaan kemudian adalah ‘keteraturan semacam apakah yang diacu oleh Lao Tzu?’ Keteraturan, secara logis, selalu bisa dikaitkan dengan sesuatu yang tertata, teratur, atau sesuai dengan hukum tertulis (tse). Dalam filsafat ini, menurut Alan Watts, keteraturan Tao bukanlah suatu hukum tertulis (wu-tse). Keteraturan adalah mengikuti jalan Tao yaitu membiarkan segalanya kreatif dan mengalir dengan tju-zan tanpa ada campur tangan apapun dan siapapun. Dengan demikian, tak heran jika Lao Tzu menolak adanya keputusan ataupun peraturan yang dibuat secara sengaja untuk manusia. Hal tersebut jelas-jelas keteraturan buatan manusia dan tidak alami. Namun, membiarkan segala-galanya bukanlah semata-mata sebagai suatu ketidakteraturan atau khaos. Setiap hal di dunia ini selalu akan digerakan oleh daya hidup yang berasal dari Tao.

Dalam Tao Te Ching 1 awal dari segala sesuatu teratur, namun tidak teratur. Pemahaman keteraturan yang tidak teratur di sini lebih diterjemahkan karena adanya “kegaiban, kedalaman, dan misteri”. ... sumber ini dinamakan suatu misteri ... Sumber dalam filsafat Lao Tzu tidaklah sama dengan sumber atau asal muasal dalam filsafat barat yang berarti kekacauan atau ketidakteraturan semata (khaos). Asal muasal adalah yang tidak ada (wu) dan bersifat gaib dan penuh misteri (hsüan). Kemudian setelah sumber berkreativitas terciptalah kehidupan (you) yang dapat harmonis secara tzu-jan, namun keharmonisan itu tidak bisa dikatakan keteraturan. Ini terjadi karena Tao adalah wu-tse (bukan hukum). Tao dalam you juga memiliki pola keteraturan yang dapat dikenal dan dirasakan, namun tak dapat didefinisikan atau ditulis menjadi sebuah buku. Pola keteraturan ini biasa disebut sebagai li. Li bukan seperti suatu keteraturan legal, melainkan sebagai suatu keteraturan organis, di mana hal ini ada kaitannya dengan tzu-jan, wu tse, dan hsüan. Li itu natural, bukan hukum namun penuh makna. Jika segala sesuatu mengikuti li-nya masing-masing maka harmonisasi akan terjadi dan relasi dengan segala hal akan berjalan dengan baik dan semestinya.

Untuk membantu memahami pemahaman akan Tao yang rumit ini, Lao Tzu dalam Tao Te Ching selalu mengindentifikasi jalannya ini dengan metafor air. Air adalah unsur yang cocok untuk menjelaskan mengenai jalan Tao. Air yang mengalir menuju ke laut selalu memberikan kehidupan. Dalam perjalanannya menuju laut, air selalu memberi kehidupan kepada apa saja yang ia lewati dan ini terjadi tanpa disengaja. Lao Tzu juga mengkonotasikan sungai sebagai nadi dari kehidupan. Air dengan lincahnya mengalir tanpa pernah terhambat. Namun, dari manakah datangnya mata air yang memberi kehidupan itu? Kadang air bisa sangat lembut dan kadang bisa sangat keras hingga menghancurkan batu-batu yang keras dan besar. Air bersifat selalu mengarah ke tempat yang lebih rendah. Oleh Lao Tzu, manusia diharapkan berada setara dengan air atau berada di bawah. Manusia seharusnya selalu bersikap rendah hati atau berada bersama level bawah. Ini sama halnya dengan laut yang menjadi raja dari sungai-sungai karena memang laut mampu menjaga dirinya untuk tetap rendah. Air punya aturan atau li yang tidak bisa dipahami manusia. Jika air sudah mengarah pada kerusakan alam dan manusia di mana banyak manusia terbunuh, hal ini berarti ada sesuatu yang tidak beres atau ada yang tidak sesuai dengan jalan alam. Maka, solusi untuk memperbaiki persoalan seperti ini adalah mengajak manusia untuk masuk dan bersatu dengan Tao sehingga dunia ini menjadi kembali harmonis dan tenang, penuh kedamaian. Tao adalah sumber dan kedamaian itu sendiri. Manusia diajak untuk ikut dalam gerak bersama Tao.

TE


Te selalu diartikan sebagai suatu realisasi atau ekspresi dari Tao dalam kehidupan sehari-hari. Te, bagi Alan Watts, memiliki kaitan dengan daya kekuatan (power) dan daya hidup (virtue) yang juga gaib dan penuh misteri. Te, menurut Wing Tsit-Chan, juga berarti ‘meraih atau mendapatkan.’ Lebih jelasnya, jika ada orang yang telah meraih atau mendapatkan Te, berarti ia telah bersatu dengan Tao. Kemampuan meraih Te merupakan kemampuan menjadi orang yang penuh daya (Te). Karakter setiap pribadi juga akan semakin jelas terlihat, jika Te mampu diperoleh. Te memberikan kepada setiap pribadi suatu kekhasan. Kalau Tao membawa manusia pada jalan yang benar maka Te membuat manusia memahami akan jalan tersebut. Manusia kemudian membentuk sikap untuk dapat menghadapi segala situasi, tentunya dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berasal dari dirinya dalam terang Tao. Hal ini terjadi demikian karena disitulah Te memiliki peranan. Te membuat yang satu khas dari yang lain. Salah satu bab dalam Tao Te Ching mengisahkan tentang Te demikian:

Seorang Guru tidak mencoba untuk menjadi kuat;
ternyata ia benar-benar kuat.
Orang biasa selalu mencari kekuatan;
ternyata itu tidak pernah tercukupi...


Bagi Lao Tzu, Te akan membawa manusia kepada cinta, kesederhanaan, dan kelemah-lembutan. Ketiga hal ini biasa disebut sebagai “harta karun” dunia. Ketiga hal ini juga disebut sebagai tiga daya hidup pokok manusia. Lao Tzu percaya bahwa dengan meraih Te ini, maka manusia akan memiliki sikap dan sifat pemberani, rendah hati, dan berjiwa pemimpin. Dengan cinta, manusia akan lebih mencintai bumi, yang merupakan tempatnya berada dan yang memberi kehidupan. Mencintai berarti juga memelihara dan merawat. Cinta harus berasal dari diri yang paling dalam karena dengan begitu tindakan manusia akan menjadi lebih otentik, misalnya tindakan manusia kepada pemerintah haruslah dengan wujud cinta pada hukum (taat); terhadap kata-kata atau janji-janji yang diucapkan, cinta terwujud dalam kesetiaan menepatinya; terhadap kesibukan aktivitas, cinta terwujud dalam kemampuan mengatur jadwal dengan baik; dan terhadap masyarakat, cinta terwujud dalam ungkapan-ungkapan kerendahan hati. Dengan kerendahan hati, manusia diharapkan dapat menjadi orang yang sabar, tidak membenci, lemah lembut, tidak mudah berprasangka buruk, dan dapat bersatu dengan lingkungan. Dengan berjiwa pemimpin, manusia diharapkan menjadi pemimpin yang adil, bermotif alami dalam setiap keputusan, dan berpengetahuan baik. Semua hal tersebut akan dimiliki jika Te telah memberikan kekuatannya dan jika manusia mau menerima Tao. “Maka dari itu seorang Guru peduli pada dirinya dengan kedalaman dan bukan kedangkalan, dengan buahnya dan bukan bunganya...”

Wing Tsit-Chan juga menambahkan bahwa Te selalu datang tanpa disadari. Te datang begitu saja tanpa ada gejala-gejala yang mendahului. Manusia akan mulai menyadari berperannya Te sama seperti ketika ia menyadari peranan warna-warni burung atau kupu-kupu dalam mempertahankan atau melindungi dirinya dari serangan. Te, dalam arti ini, membawa manusia pada perlindungan dan keselamatan manusia. Kekhasan ini bukanlah suatu usaha untuk menonjolkan diri yang disengaja atau pun suatu kutukan, melainkan suatu kekuatan besar yang tidak bisa dipahami. Untuk lebih mudahnya, Te merupakan daya hidup alami yang melekat dengan manusia. Dalam persatuan gerak dengan kealamian Te, kebijaksanaan dan kerendahan hati dengan sendirinya menjadi bagian dalam diri manusia.

YIN YANG


Yin dan yang adalah suatu prinsip polaritas yang bergerak siklis dan progresif dalam mengembangkan kehidupan di dunia ini. Para Taoist mengilustrasikan prinsip ini dengan sebuah cerita menarik tentang seorang petani yang kehilangan kudanya. Di sore hari, seorang petani didatangi seorang tetangga setelah ia kehilangan kudanya. Tetangga itu mengatakan kepada petani bahwa ia mengalami nasib buruk. Petani tersebut mengatakan “mungkin saja.” Hari berikutnya kuda yang hilang kembali dan ia juga membawa bersamanya enam kuda liar. Tetangganya melihat hal tersebut dengan mengatakan bahwa sang petani sedang mengalami nasib baik. Petani tersebut mengatakan “mungkin saja.” Di hari berikutnya, anak sang petani mencoba menaiki salah satu kuda liar yang telah menjadi miliknya, namun ia terjatuh dan kakinya patah. Tetangganya kembali lagi dan mengungkapkan simpatinya atas tragedi yang menimpa anaknya. Petani tersebut kembali mengatakan “mungkin saja.” Hari sesudahnya, petugas wajib militer datang dan membawa semua anak laki-laki untuk dijadikan tentara, namun anak sang petani tidak dibawa karena patah kakinya. Sang tetangganya kembali datang dan mengungkapkan keberuntungan yang dirasakan sang petani. Petani tersebut juga mengatakan “mungkin saja.” Dari kisah ini, jelas sekali terlihat adanya keberuntungan dan ketidakberuntungan yang mengalir begitu saja tanpa harus dipikirkan atau direncanakan. Tidak ada yang bisa memastikan apakah sekarang atau esok manusia akan mengalami ketidakberuntungan atau keberuntungan. Semuanya Tao yang mengatur.

Dalam budaya Cina kuno, prinsip polaritas yin dan yang merupakan prinsip dasar kehidupan mereka. Kekuatan untuk dapat mempertahankan hidup dan kemudian mengembangkannya berasal dari pengolahan pengalaman dengan prinsip tersebut. Masa-masa penuh penderitaan yang terjadi tidak pernah membuat mereka kecewa atau frustasi, melainkan membuat mereka berpegang teguh pada harapan yang lebih pasti bahwa di suatu saat nanti akan ada kebahagiaan. Tujuan mereka mengembangkan prinsip ini adalah semata untuk mencari nafkah yaitu perhitungan dalam bertani dan bernelayan. Perhitungan ini dalam perkembangan selanjutnya berkembang menjadi pengetahuan menghitung hari, horoskop, dan lain sebagainya. Prinsip yang sudah sangat mendasar dalam kebudayaan Cina ini banyak dikembangkan oleh berbagai ajaran, terutama Taoisme. Lao Tzu tanpa memahami prinsip yin yang tidak akan mungkin mengajak manusia untuk kembali bersatu dengan alam. Yin yang dan Taoisme, secara filosofis dan praktis, bersifat saling melengkapi.

Secara literer yin,  ,dan yang,  , memiliki arti sisi gelap dan sisi terang sebuah bukit. Bukit yang disinari matahari pada pagi dan siang hari akan memunculkan sisi terang dan gelap. Yin dan yang adalah dua prinsip kehidupan yang saling melengkapi, saling tergantung, saling mempengaruhi, dan saling memberikan keharmonisan dalam setiap ruang hidup yang selalu berlawanan. Yin dan yang selalu diasosiasikan dengan prinsip feminim dan maskulin, lemah dan kuat, gelap dan terang, jatuh dan bangun, bumi dan langit, dan semacamnya.

Prinsip Yin-Yang juga merupakan suatu seni kehidupan orang-orang Cina. Seni ini terletak pada usaha menjaga keseimbangan yang satu dengan yang lain yang secara alami saling berlawanan. Alan Watts, dalam bukunya Tao: The Watercourse Way, memahami prinsip ini sebagai suatu negasi dan bukan suatu kontradiksi atau konflik. Prinsip ini pada dasarnya selalu menyangkal yang lain dan tidak memerangi. Orang-orang Cina dapat hidup seimbang dengan prinsip ini ketika mereka memahami gerak angin, pasang surut, ombak, cuaca, dan berbagai prinsip alam lainnya. Inilah hidup seimbang mengikuti alam. Manusia tidaklah bisa melawan alam, melainkan hanya bisa mengikuti dan mematuhinya. Dalam hal ini prinsip Tao, dengan li sebagai polanya, menjadi suatu jalan.

Pokok relasi antara yin dan yang disebut sebagai hsiang sheng, ,suatu pola saling mengembangkan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Lao Tzu dalam Tao Te Ching 2 juga mengungkapkannya.

yang ada dan yang tidak ada saling menciptakan.
Susah dan mudah saling mendukung …
Sebelum dan sesudah saling mengikuti …


Jadi, ada dan tidak ada, susah dan mudah, sebelum dan sesudah itu berbeda, namun tak dapat dipisahkan. Mereka adalah kesatuan yang saling tergantung. Juga, tak akan ada kemungkinan akhir di mana yang satu akan menang dari yang satunya lagi. Yin dan yang bagi Alan Watts dikonotasikan sebagai ‘lovers wrestling’ daripada ‘enemies fighting.’ Artinya yin dan yang bukan sama sekali ruang kosong, melainkan suatu ruang yang memiliki titik yang berlawanan yang saling mengisi dan melengkapi. Yin dan yang tidak pernah saling kalah mengalahkan, melainkan saling me-negasi seperti layaknya dua pribadi yang berlawanan jenis saling cinta. Maka dengan demikian, yin yang bukanlah suatu prinsip yang kosong sama sekali, melainkan suatu kung, suatu kekosongan yang memiliki makna. Pemahaman seperti ini sama seperti dalam Tao di mana yang ‘berwujud’ dan ‘tidak berwujud’ saling berperanan dalam mengembangkan kehidupan.


Manusia menyatukan jari-jari sebuah roda,
dan itu adalah pusat
yang dapat membuat sebuah kereta berjalan

kita bekerja dengan yang ada,
namun yang tidak ada adalah yang kita gunakan


Alan Watts juga menambahkan bahwa prinsip yin dan yang tidak bisa disebut sebagai suatu dualisme. Prinsip ini adalah ekspresi dualitas akan kesatuan yang implisit. Kesatuan kedua prinsip ini tidaklah saling bertentangan, melainkan ada keterikatan cinta. Kemudian dengan adanya prinsip ini, manusia dapat semakin menyadari kekurangan dan kelebihannya sendiri. Manusia harus tahu dan belajar bekerja sama dengan alam jika manusia mau hidup dan berkembang. Prinsip yin dan yang membuat sadar manusia bahwa manusia dan alam adalah satu dan memiliki jalan yang sama, yaitu Tao.

Kesimpulan

Wu wei adalah suatu prinsip hidup. Ini adalah bentuk praktis dari Tao dan Te yang terkesan abstrak. Manusia diajak untuk melakukan tindakan atau sikap “tidak bertindak”. Hal ini akan aneh jika manusia hanya memikirkan dan menganalisa prinsip ini. Wu wei akan terasa kebenarannya jika manusia mau mempraktekan Tao terhadap dan dalam dirinya. Manusia harus masuk dalam gerak. Kebenaran Tao akan diketemukan dalam persatuan dengan gerak seturut prinsip wu wei. Walaupun Tao itu sulit untuk dimengerti, dalam tataran praktis Tao memiliki dan terlihat berdaya guna. Banyak orang disembuhkan, disadarkan, dan diketemukan jiwanya dengan mendalami ajaran ini. Tao walaupun tak kelihatan, akan terasa agung dan besar. Akhirnya dalam bab ini, penulis akan menutup rangkaian pembahasan wu wei dengan suatu simpulan sekaligus refleksi akan keagungan dan kebesaran prinsip wu wei dalam membantu menemukan kebenaran kehidupan.

Manusia Lao Tzu adalah manusia yang berprinsip wu wei sebagai akibat pilihan hidup untuk seturut dan selaras dengan Tao. Tao adalah sumber inspirasi dan kekuatan dalam menjalankan kehidupan sebagai manusia yang murni. Dengan menjalankan wu wei, manusia dihadapkan pada situasi yang kurang lebih sama dengan Tao, tidak terikat ruang dan waktu. Dalam hal ini, manusia harus menemukan dirinya bersatu dengan Tao. Ini adalah tujuan hidup manusia. Jika manusia mampu bersatu dengan Tao, segala gerak kehidupan di dunia ini akan mudah dijalani dan dipahami. Manusia ini akan disebut yang bijak dan kebahagiaan serta kedamaian akan serta merta mengikuti.

Manusia wu wei itu manusia alami. Disebut demikian karena wu wei berarti tidak melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan alam atau kodrat. Walaupun wu wei secara literer berarti “tidak bertindak,” wu wei selalu menunjuk pada sikap spontan dan mengalir seperti aliran air sungai. Wu wei adalah sikap membiarkan alam bekerja sesuai dengan hukumnya dan manusia hanya mengikuti dan menemukan diri di dalamnya. Sikap ini bisa juga disebut sikap pasrah dan lepas bebas terhadap segala sesuatu. Namun kepasrahan dan kelepas-bebasan yang dimaksud bukan sesuatu yang diperjuangkan atau sebagai suatu askese, sikap ini adalah alami yang datang begitu saja dengan sendirinya seturut kedalaman manusia menghidupi jalan Tao. Tao memberikan semangat untuk bertindak. Tidak ada yang disengaja ataupun yang bertujuan dalam dunia Lao Tzu. Manusia tidak pernah berpikir untuk bisa harmonis dengan Tao. Manusia hanya secara tidak sengaja akan menemukan dirinya selaras dengan Tao seturut mendalamnya penghayatan terhadap Tao.

Manusia wu wei adalah manusia yang penuh kebijaksanaan. Bijaksana dalam arti manusia tersebut telah menguasai ketenangan dan mendapatkan kedamaian jiwa. Ia tidak akan mempermasalahkan berbagai hal yang ada di dunia ini. Ia hanya menerimanya dan kemudian meresponnya seturut dengan pikiran spontan yang muncul. Maka, wu wei jauh dari sikap aggresif. Sikap wu wei itu menerima diri apa adanya. Menurut Lao Tzu, manusia tidak akan mungkin meraih tujuan hidupnya dengan bersikap aggresif. Biarkanlah segalanya berjalan dengan spontan dan berikanlah segalanya sesuai dengan arah dan maksudnya.

Untuk memperjelas bagaimana wu wei dimaksud, akan dijabarkan tiga metafor yang diungkapkan Lao Tzu. Metafor tersebut adalah air, perempuan, dan bayi. Ketiga hal ini menunjuk pada sikap wu wei dan merupakan suatu simpulan dari tulisan mengenai wu wei ini. Dengan demikian, rahasia kehidupan yang menjadikan segala sesuatu berjalan sempurna akan terungkap dengan menjadikan segala sikap dan perbuatan sesuai dengan metafor-metafor ini.
Salah satu kata kiasan yang diciptakan oleh Lao Tzu untuk mendalami pemahaman secara lebih mudah dan konkrit mengenai manusia wu wei adalah air. Manusia harus menjadi seperti air agar ia memahami bagaimana ketenangan atau keheningan air. Maka, Lao Tzu dalam Tao Te Ching 8 mengekspresikan air sebagai kebaikan yang tertinggi. Air disebut demikian karena menurut pemahaman Lao Tzu air memberikan makna akan non-kompetisi dan non-aggresi. Intinya adalah ketenangan dan keheningan. Jika air dibiarkan begitu saja maka kita akan melihat kejernihan air dan kejelasan benda-benda yang ada di dalamnya. Juga, jika kita tidak membuihkannya maka akan terlihat air yang tenang. Selain itu, air setiap hari dan setiap saat selalu memberikan kehidupan kepada apa saja dan siapa saja yang dilewati. Air sumber kehidupan dan sifatnya tenang dan hening. Dalam konteks inilah dapat dideskripsikan jalan Tao. Manusia harus menjadi seperti demikian untuk dapat mengikuti jalan Tao dan untuk dapat menemukan keharmonisan hidup atau kedamaian. Namun, manusia tidak diajak untuk terlalu deras atau menetes saja hidupnya. Manusia dalam hidupnya mengalir seturut semangat yang diberikan Tao.

Selain itu, sikap wu wei juga dimetaforkan dengan simbol perempuan. Dinyatakan demikian karena menurut Lao Tzu, perempuan adalah figur yang reseptif atau mudah menerima. Dengan sikap menerima berarti ia mempraktekan wu wei. Sikap tersebut juga muncul dari sikapnya yang non-aggresif. Wu wei dalam metafor ini juga berarti sikap yang lemah lembut. Sikap ini tidak gegabah, tidak mengambil keputusan, melainkan hanya pasrah. Ia membiarkan dirinya dipengaruhi oleh Tao karena secara spontan Tao akan mengajaknya merespon berbagai hal lewat kepasrahannya itu. Menerima dalam hal ini tidak berarti pasif melainkan melakukan tindakan yang memang dibutuhkan. Salah satu contoh tidakan tersebut adalah melahirkan. Tindakan melahirkan bukan tindakan yang disengaja atau diperkirakan secara detil dan matematis. Tindakan melahirkan itu spontan dan lemah lembut. Akhirnya, tindakan model seperti inilah yang kemudian menjadi kekuatan hidup di jalan Tao. Sikap menerima, lemah lembut, dan “melahirkan” adalah kekuatan untuk mengatasi keaggresifan “pria” atau dorongan-dorongan negatif manusia. Namun, dalam pandangan ini, wu wei bukan sikap yang cerewet dan bermanja-manja.

Yang terakhir adalah metafor bayi. Maksud dari metafor ini adalah manusia diajak untuk bersikap fleksibel. Jika ke-fleksibel-an hidup sudah dikuasai maka seturut dengannya muncul kemampuan, harapan, kemungkinan, dan bakat yang dibutuhkan dalam hidup ini. Manusia Lao Tzu tidak berusaha mencari bakat dan kemampuan, melainkan berusaha menjadi diri yang fleksibel. Keharmonisan bersama Tao itu seperti bayi yang memiliki tulang dan otot yang lemah, namun memiliki cengkraman yang kuat. Bayi tidak pernah memikirkan baik dan buruk, benar dan salah, sense dan non-sense. Maka tindakannya adalah selalu spontan dan inocent. Intensi tindakannya selalu murni. Tulang dan otot tidak dibutuhkan dalam mendalami dan memegang suatu prinsip kehidupan, kekuatan cengkramanlah yang lebih berpengaruh. Selain itu, faktor kebudayaan dan sosial belum mempengaruhi diri si bayi. Tindakannya adalah murni spontan. Sikap spontan yang tanpa memperhitungkan banyak hal mengartikan suatu tindakan yang fleksibel, lepas bebas, dan berani menghadapi berbagai situasi yang dialami.

Manusia Lao Tzu menghidupi sikap-sikap seperti ini dengan tujuan ingin segerak, selaras, atau sejiwa dengan Tao. Dalam kepentingan personal, manusia juga ingin mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup. Maka, manusia Lao Tzu tidaklah takut hidup menderita dan mati karena Tao menghendakinya demikian. Penderitaan dan kematian adalah hal yang alami sehingga manusia dengan bersikap wu wei dapat menerima persoalan ini. Ketakutan manusia akan penderitaan dan kematian akan hilang jika manusia mampu meraih dan mendalami prinsip dasar Tao. Kematian bukan yang final. Finalitas Lao Tzu adalah segerak dengan Tao.
Segalanya berawal, berproses, dan berakhir dalam Tao. Tao adalah tujuan yang ultim. Segala realitas dan penampakan dari Tao. Dari sisi praktis, usaha memahami wu wei juga mengalami kebingungan. Sebagai contoh, teknik beladiri Aikido merupakan salah satu metode yang berdasar pada Tao. Pelaksana teknik ini akan dapat menang jika mampu menggunakan kekuatan dari lawan. Yang ia lakukan adalah tidak mengeluarkan kekuatan. Aneh dan membingungkan teknik seperti ini, namun jika dilaksanakan dan dialami akan terasa kebenaran prinsip wu wei. Begitu juga dengan meditasi, tai chi, chi kung, feng shui, dan berbagai kegiatan lainnya yang berdasar pada Tao. Wu wei adalah suatu rahasia kehidupan yang tidak bisa dimengerti, namun jika dialami akan terlihat dan terasa bahwa segala sesuatu berjalan menuju kesempurnaan. Wu wei adalah rahasia yang tidak ditemukan dalam konsep, melainkan ditemukan dalam gerak. Rahasia juga akan terungkap jika manusia tidak mengungkapnya. Ini adalah kebenaran yang dicapai dalam persatuan gerak atau nyata dalam gerak. Hasilnya, manusia menjadi bahagia dan kedamaian atau keharmonisan menjadi bagian pasti dalam diri dan masyarakat.

Wu wei, sekali lagi, adalah suatu cara bertindak secara alami, spontan, dan sederhana. Hal ini demikian karena Lao Tzu ingin mengajak manusia menghindar dari kebiasaan umum, yaitu melakukan tindakan yang disengaja dan bertujuan. Bertindak wu wei adalah bertindak seturut Tao. Manusia harus menjadi manusia yang selaras dengan sesuatu yang tidak bernama dan tidak kelihatan. Maka dalam bertindak wu wei manusia menghindari tindakan yang disengaja dan bertujuan menuju tindakan yang alami, spontan, dan sederhana. Juga, manusia masih harus menghindar dari usaha menghindar tersebut karena wu wei itu murni. Intensi menghindar juga tidak ada. Tindakan wu wei adalah murni alami, murni spontan, dan murni sederhana. Manusia harus sampai pada kung dirinya.

Kemurnian dalam hal ini merupakan sifat Tao. Jika keinginan untuk bebas dan menghindar telah dapat distrukturkan oleh manusia, maka kebebasan tidak lagi menjadi kebebasan, menghindar tidak lagi menjadi menghindar. Tao, menurut Tao Te Ching 1, memiliki sifat yang murni, tak bernama, tak terraih, tak terdistingsikan, tak tersentuh, tak terdeskripsikan, dan lainnya. Jika kebebasan manusia telah memiliki nama atau terdeskripsikan maka kebebasan bukan lagi kebebasan seturut Tao. Kebebasan ini harus ditinggalkan dan manusia harus masuk ke misteri Tao kembali. Kemurnian Tao adalah gaib, misterius, dan gelap. Murni itu kung.

Dalam menuju ke kemurnian tersebut atau Tao, Lao Tzu menunjukan suatu jalan, yang menurut Chad Hansen, adalah jalan yang negatif. Ia menyebutnya sebagai jalan pembalikan. Disebut negatif karena Lao Tzu tidak ingin berjalan seturut commonsense. Ketika prinsip umum menaruh nilai pada keaktifan, dominan, posisi lebih, kekuasaan, dan kedisiplinan, Lao Tzu mengajak manusia menjadi pasif, lemah, mengalah, menerima, dan berada di posisi bawah. Hansen menambahkan mengapa Lao Tzu lebih menghargai kebodohan daripada kecerdasan, ketidaktahuan daripada pengetahuan, kekurangan daripada keberadaan, dan lain sebagainya? Apakah akan tercukupi dan terpenuhi kebahagiaan manusia dengan hanya memiliki sikap negatif ini?

Yong Choon Kim dalam pembahasannya di dalam buku Oriental Thought juga menanggapi hal yang kurang lebih sama dengan Hansen. Ia menyatakan bahwa filsafat ini tergolong filsafat yang misterius. Pengertian akan jalan yang negatif atau jalan pembalikan jika dijalankan oleh manusia akan menimbulkan suatu tendensi radikal individualisme, yang mungkin muncul akibat terlalu banyak kebebasan dan pasivitas.

Wu wei sebagai suatu prinsip memang aneh dan tidak heran jika disebut sebagai rahasia. Wu wei adalah rahasia yang tak terungkap secara materi, namun terungkap secara intuisi. Namun apakah dengan menjalankan wu wei manusia pasti akan selamat. Dalam memperdalam metafor air, Chad Hansen menambahkan bahwa air itu memang memberikan kesuburan dan kesegaran, namun air juga bisa menjadi buruk bila ada orang yang tidak bisa berenang dan kemudian mati tenggelam. Jika demikian, segalanya akhirnya menjadi relatif. Manusia akan merasakan kesulitan dan kebingungan dalam pegangan hidupnya. Dengan logika seperti ini, wu wei bukan merupakan pegangan yang kokoh.

Dalam kebingungan-kebingungan ini, Lao Tzu dengan bijaknya berusaha menjawab masalah yang dihadapi manusia. Namun, ia tidak menjawab apa-apa dan dari parasnya ia seperti mengekspresikan “biarkan segalanya berjalan dengan sendirinya atau biarkan manusia menginterpretasikan segalanya dengan sebebasnya asal seturut dengan Tao”. Manusia yang meninggal karena tenggelam atau terbawa arus air yang besar, bagi Lao Tzu, merupakan suatu peristiwa alami. Jika demikian, kematian tersebut adalah kematian karena selaras dengan Tao. Artinya manusia yang sudah meninggal tersebut sudah menemukan kebenaran lewat gerak bersama Tao. Kematian dan penderitaan adalah alami karena Tao-lah yang mengalirkannya dan membuat manusia bergerak dan bersatu dengan penderitaan dan kematian tersebut.

Dengan pandangan membiarkan segalanya terjadi seturut kehendak alam, Lao Tzu membawa manusia untuk bergerak sesuai dengan apa yang digerakan atau diilustrasikan oleh Tao. Di sini akan terlihat manusia yang bergerak dengan bebas tanpa ada patokan atau aturan hidup tertentu yang pasti. Hal ini tentu saja bertentangan dengan konfusianisme yang sangat mengagungkan aturan yang dibuat secara rasional dan terstuktur demi tertatanya kehidupan karena dengan begitu kebahagiaan dan kemakmuran akan dicapai. Otonomi manusia, bagi Taois, menjadi penting. Segalanya ditentukan oleh Tao. Wu menjadi berharga dan bermartabat karena Tao. Dengan demikian, tidak heran jika sikap bijaksana sangat kental dalam taoisme karena setiap orang memiliki pandangannya sendiri yang digerakan oleh Tao.

Bagi penulis, pemahaman filsafat yang penuh kebijaksanaan ini jika disalahgunakan akan menjadi sangat berbahaya. Misalkan sebuah pemerintahan yang berkuasa mendasari kekuasaannya dengan prinsip ini. Bisa jadi pemerintahan akan berjalan baik dan rakyat akan senang, namun jika disalahgunakan rakyat akan dipermainkan. Keputusan dari penguasa bisa saja diklaim sebagai keputusan yang berasal dari Tao, padahal keputusan tersebut adalah keputusan pribadinya atau kelompoknya. Hal ini akan menjadi masalah besar. Kekuasaan yang otoriter bisa terjadi. Penguasa ini akan “…mengosongkan pikiran rakyat dan mengisi perutnya, melemahkan keinginan mereka dan memperkuat tulang-tulang mereka.”

Pandangan Taoisme dengan prinsip wu wei-nya tersebut, ternyata memiliki dua akibat. Akibat pertama adalah membuat manusia bijak karena dapat kembali pada Tao, seperti halnya Lao Tzu. Akibat kedua adalah munculnya otoritarianisme di mana penguasa yang memiliki kekuatan besar dapat menyalahgunakan keputusan dari yang demi rakyat menjadi demi pribadinya sendiri. Kemudian, mengapa filsafat yang seperti ini dapat terus berkembang dan bertahan jika isinya bisa disalah-tafsirkan sehingga rakyat menjadi semakin sengsara.
Taoisme sangat mengagungkan personalisme, bukan individualisme. Personalisme lebih ditempatkan dibanding individualisme kerena dalam gerak bersama Tao manusia menujukan keutuhan dirinya yang murni menuju keharmonisan dengan alam dan sesama. Individualisme akan lebih cenderung mementingkan diri sendiri secara egois dan sentral. Jika demikian, Taoisme akan hilang termakan keegoisan. Keutuhan Tao dalam diri manusia dapat ada karena manusia bersatu dengan gerak dan menghasilkan kebahagiaan. Jika ada penguasa yang menyalah-tafsirkan isi filsafat ini, taoisme akan menjadi tidak utuh, tidak menghasilkan kebahagiaan, dan bersifat individualis. Jika demikian, hal tersebut bukanlah taoisme, hanya isinya seperti taoisme. Kebebasan taois dalam mengarahkan gerak hidupnya bersama Tao akan mampu membedakan keputusan yang berdasar Tao dan yang tidak.

Maka, berkembang dan bertahannya Taoisme dalam dunia ini merupakan suatu usaha untuk menempatkan manusia sebagai pribadi yang utuh dan berharga. Kebebasan manusia juga menjadi yang penting ketika berhadapan dengan penguasa yang otoriter. Rakyat akan berhadapan pada pilihan apakah akan setia pada pemimpin seperti ini atau tidak. Intinya manusialah yang menentukan kemana arah jalan hidupnya, bukan penguasa dan juga bukan dirinya sendiri. Kebebasan dan otonomi manusia menjadi titik manusia bergerak, tentunya pergerakan yang bersatu dan selaras dengan Tao. Dengan demikian, adanya manusia yang dianggap bernilai dan berharga oleh taoisme menjadikan ajaran ini dapat selalu bergerak dan berkembang sampai saat ini.